Saya Bisa Menulis

21 Feb

Saya kira menyelesaikan skripsi akan mudah. Kenyataannya, memang tidak sulit tetapi kenapa tak kunjung selesai. Entah lah, saya hanya sedang ingin menulis apa saja sekarang. Ingin bercerita tepatnya barangkali.

Pagi ini saya bangun dengan perasaan tidak begitu baik sesaat sebelum adzan subuh. Entahlah, Saya rasa tidak ada yang salah dengan tidur saya. Selepas mandi juga bukan kesegaran yang saya rasakan tapi kedinginan. Lalu saya paksa membaca dengan memeluk guling dan berselimut. Membaca tulisan sendiri yang akan saya konsultasikan kepada pembimbing nanti jam tujuh. Hey, ini minggu tidak salah mau bimbingan hari ini? Iya tidak salah, saya tahu ini hari minggu dan dosen pembimbing saya juga tahu ini hari minggu. Alamak, saya tertidur lagi sampai pukul 06.30.

Bergegas merapikan diri dan melesat dengan langkah terburu-buru ke kampus. Ramai sekali ternyata kampus minggu-minggu begini. Ibu-ibu  dan Bapak-bapak setengah baya berlari-lari ke ruang kelas. Ternyata sedang ada ujian akhir semester bagi mahasiswa program peningkatan kualifikasi S1 Depag. Saya mengikuti mereka dan berhenti di depan kelas. Mencari-cari papan informasi, mencari jadwal ujian untuk mencari dosen saya berada di mana. Sepertinya saya berada di depan kelas yang benar. Tetapi kenapa bukan dosen yang saya cari yang ada di dalam sana. Saya putuskan menunggu, kemudian saya duduk di depan kelas itu.

Segerombolan Ibu-ibu tersenyum kepada saya dengan langkah tergopoh-gopoh, tangannya menyalami saya dan mengatakan “Mari Bu, maaf saya terlambat.” Saya membalas senyum mereka dan mengulurkan tangan, selebihnya saya terbengong-bengong. Duh, apakah wajah saya sudah tua sehingga mereka memanggil saya “Bu”. Atau mereka mengira saya dosen?

Seseorang menghampiri saya, “Kenapa ga masuk mbak? terlambat ya? siapa pengawasnya?” tanyanya, bukan dosen melainkan pegawai TU.

“Saya sedang menunggu Bu Kasih,” jawab saya.

“Sudah membuat janji?” tanyanya lagi.

“Sudah,” jawab saya pendek.

“Ada keperluan apa?” tanyanya lagi.

“Bimbingan skripsi,” Lalu orang itu pergi.

Saya mengamati ke dalam ruang kelas. Hening. Tiba-tiba saya merasakan suasana ujian itu, ikut terhanyut di dalamnya.  Seorang Ibu yang duduk di bangku nomor dua menoleh ke belakangnya, meminta jawaban. Seorang yang duduk di belakangnya adalah Bapak-bapak yang membuka buku catatan. Hmm… rasanya memang tidak lengkap ujian tanpa ada yang contek-contekan. Saya pernah bilang pada seorang teman yang selalu membuat contekan ketika mau ujian, “Untung kamu tidak kuliah di kedokteran,”

“Maksudmu?” tanyanya.

“Bayangkan saja seandainya dokter biasa menyontek saat ujian, saat ada pasien yang harus segera ditangani dia harus buka-buka buku dulu, keburu sekarat,” lanjut saya. Teman saya hanya nyengir.

Ah, untungnya juga yang ada di ruangan itu bukan mahasiswa kedokteran. Halah, jurusan apapun juga yang namanya menyontek memang ga banget. Asal tahu saja, yang ada di ruangan itu semuanya adalah guru-guru yang  sudah mengajar bertahun-tahun. Kalau guru kencing berdiri murid kencing berlari, begitu kata pepatah. Nah, sekarang kalau guru-gurunya nyontek bagaimana dengan muridnya?

Setelah lebih dari tiga puluh menit menunggu, Bu Kasih, dosen yang saya tunggu datang juga. “Tunggu dulu ya mbak, saya mau lihat ujian dulu,” katanya. Saya hanya mengangguk sembari tersenyum. Saya mengikuti Bu Kasih masuk ke ruangan dengan mata saya. Terlihat Bapak-bapak dan Ibu-ibu menyembunyikan ketakutan.

Ya, siapa yang tidak kenal dengan Bu Kasih. Semua mahasiswa yang pernah mengontrak mata kuliahnya pasti tahu beliau terkenal disiplin dan galak. Saya bertemu dengan beliau di kelas dulu saat  semester satu. Jangan memakai kaos, karena beliau tidak menerima kaos masuk kelas. Jangan memakai celana bagi perempuan, karena beliau tidak suka perempuan tomboy. Jangan memakai jaket sampai di kelas, karena dikira masih bangun tidur. Dan yang terakhir, jangan coba-coba menyontek di ujian kecuali berharap semester depan harus bertemu dengan beliau lagi.

Akhirnya beliau keluar dan menemui saya. Meminta kerjaan saya. Melihat sekilas dan tanya ini-itu. Kemudian katanya, “Kamu sadar ga kalau kalimat kamu itu tidak jelas maksudnya? Mana pokok pikiran, mana kutipan dan mana kesimpulan? Anak TK juga bisa kalau begini,” Saya tak menjawab. Benarkah saya tidak bisa menulis? Seburuk itukah tulisan saya hingga pantas disetarakan kerjaan anak TK?

Bimbingan selesai, pulang ke kosan dan berganti seragam. Kerja. Hey, semua kejadian itu terekam sempurna. Saya bisa menulis. Setidaknya menulis tentang kejadian yang saya alami pagi ini. Saya bisa menulis. Saya bisa!

One Response to “Saya Bisa Menulis”

  1. fadlilsangaji February 24, 2010 at 5:45 am #

    hehe.. kisah yang unik.. penyampaian yang asik.. bacanya jadi menarik..

Leave a comment